B. Arab

Pertanyaan

sebutkan dua dalil kali yang menjadi hujjah dalam aqidah islamiyah

1 Jawaban

  • A. Dalil Pertama
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

    “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [At-Taubah: 122]

    Di dalam ayat ini Allah menganjurkan kaum mukminin agar mereka memperdalam agama tafaqquh fiddin kepada apa yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak diragukan lagi bahwa yang dipelajari oleh mereka bukan hanya yang berkaitan dengan furu’ dan ahkam saja, bahkan seorang guru dan murid sudah semestinya memulai pelajaran dari hal-hal yang lebih penting dari yang penting, dan satu hal yang tidak bisa disangkal dan sudah merupakan aksioma bahwa ‘aqidah lebih penting dari ahkam. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menganjurkan satu tha-ifah untuk memperdalam ‘aqidah dan ahkam, agar kelak mereka dapat memperingatkan kaumnya sekembali me-reka dari memperdalam pengetahuan agama, baik ‘aqidah maupun ahkam.

    Istilah tha-ifah menurut bahasa digunakan untuk satu orang atau lebih. Seandainya hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam hal ‘aqidah, tentu Allah tidak menganjurkan kepada mereka untuk menyampaikan da’wah. Allah memberikan alasan dengan da’wah itu agar mereka berhati-hati.

    Ayat di atas merupakan nash bahwa khabar ahad dapat dijadikan hujjah di dalam mendakwahkan masalah ‘aqidah dan ahkam. [1]

    B. Dalil Kedua
    Allah Sub berfirman:

    وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

    “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [Al-Israa’: 36]

    Kata walaa taqfu, artinya jangan kamu ikut dan jangan pula kamu mengamalkannya. Yang sudah dimaklumi bahwa kaum muslimin sejak masa Shahabat, mereka mengikuti khabar ahad dan mengamalkannya. Dengan khabar ahad itu mereka tetapkan masalah-masalah ghaib dan hakekat i’tiqadiyah, misalnya tentang awal diciptakannya makhluk dan tentang tanda-tanda hari Kiamat, bahkan mereka juga menetapkan sifat-sifat Allah dengan khabar ahad. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan tidak dapat untuk menentukan masalah ‘aqidah, maka kalau demikian para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam semuanya mengikuti sesuatu yang mereka tidak mempunyai ilmu padanya? Perkataan atau pendapat seperti ini tidak mungkin akan diucapkan oleh seorang yang mengaku dirinya sebagai muslim. [2]
    MAAF KALAU SALAH

Pertanyaan Lainnya